Sinar mentari merah jingga terlihat diubuk timur. Sinar itu mulai menampakan dirinya sedikit demi sedikit seolah malu pada ranting daun yang masih berselimutkan buih-buih tetesan air yang hinggap dimalam hari. Pagi itu pak Sumirah sudah terlihat begitu seriusnya memandang tempat tong sampah besar di samping Amanda. Tatapan matanya tertuju pada sampah-sampah plastik bekas minuman frutamin, ale-ale, dan lain-lain yang ada di tong sampah itu. Hati pak Sumirah terlihat sangat bahagia karna pagi itu begitu banyak sampah yang ia bisa kumpulkan dari tong sampah besar di samping Amanda. Kebahagiaan itu terlihat jelas terpancar dari wajah dan matanya.
Sudah lima tahun lamanya Pak Sumirah menjalani pekerjaannya sebagai pemulung sampah. Ia terpaksa menjalani pekerjaan ini karna tidak punya pilihan lain selain menjadi pemulung sampah. Ia menyedari kalau dirinya sudah tua renta dan tenaganya mulai melemah karna dimakan usia, tidak mungkin ada orang yang menawarkan jasa pekerjaan kepada dirinya. Baginya yang terpenting adalah bisa mencari rejeki yang halal dan tidak meminta-minta kepada orang lain. Lebih baik ia menahan rasa lapar yang melilit perutnya daripada harus meminta belas kasihan dari orang lain.
Setelah beberapa menit memilih dan memilah sampah-sampah di tong sampah Amanda itu, pak Sumirah kembali berjalan mencari tempat sampah yang lain. Di seberang jalan dekat pohon di perbatasan pagar UNG itu sepertinya ada tempat sampah lagi, pak Sumirah segera menghampirinya. Beberapa biji sampah plastik mulai dipungutnya satu persatu.
“Eh, pak tua, kasihan sekali nasibmu. Hahaha...” salah satu orang yang duduk didekat pohon yang berjejer di pinggir jalan itu melontarkan kata yang pedis untuk didengar. Pak Sumirah hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata itu walaupun dalam hatinya sangat sakit seperti pisau yang menyayat hatinya, rupanya ia tak terlalu menghiraukannya, ia tetap memilih-milih sampah yang masih bisa berguna.
Setelah sampah plastik itu sudah habis, pak Sumirah kembali berjalan menenteng karungnya yang ia letakkan dibelakang pundaknya. Pundaknya menjadi tumpuan setiap hari untuk mengangkat rongsokan itu, memang tidak terlalu berat, namun bagi pak Sumirah yang sudah tua tetap saja merasa pegal-pegal kalau harus berjalan sambil menenteng karung berisikan rongsokan.
Dari arah timur terlihat sepasang mahasiswa yang berjalan dengan bergandangan tangan menghampiri arah jalan yang dilewati pak Sumirah. Secara tidak sengaja mahasiswa itu menyenggol karung yang ditenteng pak Sumirah saat berpapasan. Sampah yang tadinya sudah dimasukan ke dalam karung akhirnya jatuh berserakan.
“Hey, pak tua. Kalau jalan tuh lihat-lihat. Matanya dipke di kepala, bukan di dengkul.” Mahasiswa itu marah-marah dengan muka yang mulai memerah.
“Maaf, nak, bapak tidak sengaja.” Ungkap pak Sumirah.
“Maaf maaf... Lihat baju saya jadi kotor begini gara-gara sampah busuknya bapak.” Mahasiswa itu membentak pak Sumirah sambil membersihkan bajunya.
“Sudah sudah, jangan marah-marah lagi Yang, kasihan bapak itu.” teman perempuan yang jalan bersama itu menenangkan temannya yang membantak pak Sumirah.
“Masalahnya sebentar aku ujian skripsi, Yang. Nanti kalau pakaianku kotor begini kan tidak enak dangan teman-teman lain, Roy anak orang kaya masak bajunya kotor begini.”
“Ya sudah, ayo kita pulang ganti baju dulu. Jangan bentak-bentak pak itu lagi.”
“Ya, sudah.”
“Hey, pak tua, lain kali jalannya hati-hati. Gara-gara bapak baju saya jadi kotor begini.” Omelan mahasiswa itu terus berlanjut.
“Ia, nak.” Pak Sumirah sedikit menundukan kepalanya.
Setelah menerima bentakan dan caci-maki yang tidak pantas untuk didengar dari mahasiswa itu, pak Sumirah mulai memungut kembali satu persatu sampah-sampah plastik yang berhamburan dari karungnya. Pak Sumirah bergumam dengan suara lirih, “Kok sikap mahasiswa seperti itu, bukannya orang yang berpendidikan harusnya mempunyai sikap yang baik, apa mungkin orang kaya seperti itu semua, yang tak lagi memperhatikan ucapannya. Ah, sudah lah, tidak baik berprasangka buruk.”
Suara lembut terdengar dibelakang pundak pak Sumirah saat memungut sampahnya.
“Bapak tidak papa?” tanya mahasiswa yang berkerudung hitam panjang yang menutupi hingga bawah dadanya.
“Iya, tidak papa, nak. Kamu siapa?”
“Saya Syafira, pak.”
“Bapak kenapa jadi pemulung seperti ini? harusnya bapak sudah istirahat bekerja. Biarkan anak-anak bapak yang bekerja. Dimana anak-anak bapak?”
Sejenak pak Sumirah terdiam saat menerima pertanyaan mengenai anaknya. Sudah lama ia tidak bertemu dangan anaknya, semenjak ia diusir anaknya dari rumah karna merasa tidak ada gunanya lagi.
“Anak bapak, bapak tidak tahu lagi di mana anak bapak, nak. Sejak bapak diusir dari rumah anak bapak, bapak tidak pernah lagi bertemu dengannya. Bapak terpaksa jadi pemulung sampah karna tidak tahu lagi harus kerja apa, bapak ini sudah tua, tidak mungkin ada orang yang menawarkan jasa bapak.” Pak Sumirah meneteskan air mata harunya saat menyebut anaknya.
“Ya Allah, kenapa tega sekali anak bapak. Ya sudah, bapak jangan menangis lagi ya. Bapak sekarang tinggal dimana?” tanya Syafira yang berkerudung panjang itu.
“Bapak tinggal digubuk di lorong kecil jalan Dewi Sartika situ, nak.” Jelas Pak Sumirah sambil memungut sampahnya.
“Ya Allah gubuk kecil itu, pak.” Mahasiswa itu terkejut saat mendengar pak Sumirah menjelaskan ia tinggal di gubuk kecil itu.
“Pak, kalau bapak berkenan, saya mau ajak bapak tinggal dirumah saya, kebetulan saya dirumah cuman tinggal berdua dengan ibu saya. Nah, dengan adanya bapak yang tinggal di rumah, keluarga saya jadi bertambah, supaya saya tidak terlalu kesepian di rumah, pak. Bapak mau kan?”
“Sebelumnya terima kasih, nak. Bapak tidak mau merepotkan keluargamu. Biarkan bapak bekerja menjadi pemulung seperti ini. Bapak sudah sangat bahagia bisa memenuhi kebutuhan bapak sendiri dengan cara yang halal. Yang terpenting bukan seberapa banyak uang yang diperoleh, nak, tapi rasa syukur terhadap apa yang kita peroleh itu yang lebih penting.”
Setelah mendengar kata-kata itu, Syafira meneteskan air mata haru hingga membasahi jilbabnya. Syafira sadar betapa sulitnya hidup ini, selama ini ia hanya menikmati hidup bersama keluarga yang berlimpahan harta yang tidak pernah merasakan kekurangan sedikit pun. “Ya Allah, betapa mulya hati bapak ini. Walaupun ia sudah tua renta, namun ia sangat bersyukur atas karunia yang engkau berikan walaupun itu tidak seberapa.” Tangis Syafira bercucuran sambil mencium tangan pak Sumirah. “Terima kasih ya, pak. Bapak sudah membuat saya sadar kalau kehidupan ini tidak semudah yang saya bayangkan.”
Pak Sumirah menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis dengan kulit yang sudah keriput diwajahnya.
“Iya, nak. Sekarang kamu belajar baik-baik ya. Jadilah orang yang berguna untuk orang lain. Ya sudah, bapak mau melanjutkan pekerjaan bapak lagi ya.”
“ Iya, silahkan, pak. O ya, pak, nanti kalau ada waktu main-main ke rumah ya, pak. Rumah saya di samping SMP 3 situ.”
“O iya, nak. Ingsya Allah.”
Pak Sumirah kembali meneruskan langkah kakinya dengan tubuh yang sudah membungkuk untuk mencari sampah-sampah plastik yang bisa berguna. Tubuh yang sudah tua membuat pak Sumirah tidak bisa berjalan dengan cepat lagi.