Selalu Ada Tantangan


Kemudian, Kami utus rasul-rasul Kami berturut-turut. Setiap kali seorang rasul datang kepada suatu umat, mereka mendustakannya, maka Kami silih gantikan sebagian mereka dengan sebagian yang lain (dalam kebinasaan). Dan Kami jadikan mereka buah tutur (bagi manusia). Maka, binasalah bagi kaum yang tidak beriman. (QS. Al Mu’minun: 44)


Setiap rasul ada musuhnya. Setiap kebaikan ada penghalangnya. Demikian telah Allah tetapkan. Dan setiap rasul diutus Allah untuk menyeru kaumnya ke jalan kebenaran. Dan setiap kaum memiliki respon tersendiri untuk menentang seruan. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan bahwa setiap kebenaran selalu ada tantangan.

Adalah para nabi dan rasul mendakwahkan tauhid, menyeru untuk meninggalkan sesembahan selain Allah dan hanya beribadah kepada-Nya semata. Mereka diutus untuk memperbaiki berbagai penyakit sosial masyarakat; penyembahan kepada berhala, perdukunan, kecurangan dalam jual beli, dan kejahatan-kejahatan lainnya.

Nabi Syuaib misalnya, beliau diutus kepada kaum yang mempraktikkan kecurangan dalam jual beli. Nabi Luth, diutus untuk mendakwahi kaum Sodom, pecinta sesama jenis.

Nabi Musa, ditugaskan untuk mendakwahi Firaun yang sangat kental dengan praktik perdukunan dan sihir. Semua nabi diutus dengan tujuan untuk mengadakan perbaikan sosial yang terjadi pada kaumnya masing-masing. Sampai kepada Rasulullah Saw. diutus Allah untuk menyampaikan dakwah dengan kelembutan, karena beliau adalah rahmat bagi seluruh semesta. Beliau menancapkan tauhid, memperbaiki sistem jual beli, menanamkan cinta kepada sesama, meneladankan segala kebaikan, sehingga beliau adalah Al Quran yang berjalan.

“Wahai Ummul Mukminin! Kabarkanlah kepadaku mengenai akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam!” Demikian Sa’ad bin Hisyam bin Amir bertanya tentang akhlak Baginda Saw. ketika ia mendatangi Aisyah ra.

“Akhlak beliau adalah Al Quran”, tutur Ummul Mukminin memberikan penjelasan, “bukankah engkau telah membaca Al Quran pada firman Allah Azza wa Jalla, wa innaka la’alaa khuluqin azhiim (Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung).” Begitulah potongan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.

Namun tidak seorang pun nabi dan rasul diutus Allah kepada kaumnya, melainkan mendapatkan penentangan. Bahkan Rasulullah Saw. sekalipun mendapatkan pengingkaran dari kaumnya, bahkan kerabatnya sendiri.

Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata; Ketika Allah menurunkan ayat (Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat) ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam naik ke bukit Shafa dan berseru: “Wahai kerabatku,” maka berkumpullah orang-orang kepada beliau, ada yang datang sendiri dan ada pula yang mengirim utusan. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai bani Abdul Muththalib, wahai bani Fahr, wahai bani Lu’ai, apa pendapat kalian seandainya aku kabarkan kepada kalian bahwa pasukan berkuda ada di balik bukit ini yang hendak menyerang kalian, apakah kalian mempercayaiku?” mereka menjawab; “Ya.” Beliau pun bersabda: “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian tentang azab yang sangat pedih.” Maka Abu Lahab berkata; “Binasalah engkau sepanjang masa, apakah untuk ini engkau memanggil kami?” lalu Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat: (Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa) (H.r. Ahmad)

Membayangkan baginda Nabi naik ke bukit Shafa, memulai dakwahnya secara terang-terangan, memberikan peringatan akan azab Allah. Juga membayangkan beliau didustakan, dibentak oleh Abu Lahab. Ya Allah, sang Nabi mulia dengan ahklak mulia pula, dengan kejujuran yang tak bercampur dusta, dengan keramahan dan ketulusannya, masih saja didustakan, dihina, dibentak, bahkan hendak dibunuh, apalagi kita.

Maka pewaris para nabi harus belajar dari sejarah kenabian. Belajar tentang pendustaan yang berkepanjangan. Belajar tentang pengingkaran, bahkan belajar tentang keteguhan dalam mendakwahkan kebenaran. Kita juga belajar dari mereka bahwa orang mulia sekalipun, membawa wahyu dari Allah, dibekali mukjizat yang dahsyat, masih saja mendapat tantangan dari kaumnya, apalagi hanya pewaris estafet dakwah yang notabene tidak memiliki kemampuan apa-apa.

Setidaknya kita memahami bahwa kebenaran selalu ada tantangan. Setiap kali menyebarkan ajaran Islam, jangan berharap tempuhannya akan mulus. Apalagi mengharapkan manfaat duniawi darinya. Karena bagi pewaris para nabi, keikhlasan untuk mendapatkan surga merupakan cita-cita dan harapan yang paling pertama dan utama.

Orang yang pendek angan-angan, mudah mengeluh, tak tahan banting, mereka akan sulit diajak ke barisan dakwah. Setiap kali ada seruan, mereka melihat manfaat duniawi di balik itu. Setiap kali ada ajakan, mereka berlama-lama memikirkan jarak tempuhan yang panjang.

Sekiranya (yang kamu serukan kepada mereka) ada keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, niscaya mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau kami sanggup niscaya kami berangkat bersamamu”. Mereka membinasakan diri sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. (QS. At Taubah: 42)

Meskipun tantangannya berat, para nabi tidak pernah berhenti untuk menyeru kaummnya. Walaupun nyawa terancam, dakwah tetap mereka jalankan. Maka tekad yang kuat dan kesabaran penuh perlu dimiliki seorang aktivis dakwah. Karena umat yang diseru sangat beragam sifat dan sikapnya. Dan karena tantangan selalu ada dalam perjalanan dakwah.

Kisah tentang penduduk Ailah memberikan pelajaran berharga tentang keteguhan dan alasan untuk berdakwah. Para aktivis dakwanya memiliki konsistensi dalam memberikan peringatan terhadap kaum yang melanggar perintah Allah.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menuliskan bahwa Ali bin Abi Thalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkenaan dengan makna firman Allah,

Dan ingatlah ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kalian menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang keras?” (QS. Al A’raaf: 164)

Mereka adalah penduduk kota yang berada di tepi laut antara Mesir dan Madinah, kota itu dikenal dengan nama Ailah. Allah melarang mereka menangap ikan pada hari Sabtu, padahal ikan-ikan itu datang kepada mereka pada hari Sabtunya dalam keadaan terapung-apung di permukaan tepi laut. Tetapi apabila hari Sabtu telah lewat, ikan-ikan itu kembali ke lautan sehingga mereka tidak mampu untuk menangkapnya. Hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama seperti yang dikehen­daki Allah.

Kemudian ada segolongan dari mereka berani menangkap ikan-ikan itu pada hari Sabtunya, lalu segolongan lainnya melarang dan mengatakan kepada mereka, “Mengapa kalian menangkap ikan-ikan itu, padahal Allah telah mengharamkannya bagi kalian pada hari Sabtu ini?” Tetapi nasihat itu justru membuat mereka makin berani, bertambah sesat, dan sombong. Kemudian ada lagi segolongan lainnya mengomentari para pemberi nasihat. Mereka mengatakan, “Kalian telah mengetahui bahwa mereka adalah kaum yang telah berhak mendapat azab Allah atas diri mereka,” seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka (Al-A’raf: 164)

Mereka adalah orang-orang yang paling marah terhadap para pelanggar itu ketimbang yang lainnya. Maka orang-orang yang memberi nasihat itu berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian, dan supaya mereka bertakwa. (Al-A’raf: 164)

Singkat kisah, para ahli maksiat dikutuk menjadi kera yang hina, sedangkan para dainya diselamatkan Allah. Sementara golongan yang ketiga didiamkan oleh Allah Swt. dalam surat ini. Tidak dijelaskan apakah dihancurkan atau diselamatkan.

Masih dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ada dua pendapat mengenai mereka, pendapat pertama menyebutkan bahwa mereka diselamatkan Allah karena termasuk dalam golongan orang-orang yang mengingkari kejahatan meskipun mereka tidak mencegahnya. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa mereka termasuk golongan yang dibinasakan karena membiarkan kejahatan terjadi.

Dari kisah ini kita menemukan dua alasan berdakwah; sebagai pelepas tanggung jawab dan supaya mereka beriman. Boleh jadi banyak syubhat yang terlontarkan untuk mematahkan semangat para penyeru umat kepada kebaikan, sebagaimana yang dilontarkan golongan ketiga. Namun dua alasan ini sangat efektif untuk menumbuhkan rasa optimisme pada pribadi da’i.

Kepada Fir’aun pun, Allah menumbuhkan rasa optimis pada diri nabi Musa dan Harun untuk mendakwahinya. Padahal Allah Maha Tahu tentang kesudahan yang akan terjadi. Allah Tahu bahwa Fir’aun tak akan beriman. Namun Allah mengajari nabi Musa dan Harun tentang optimis, tentang keniscayaan sebuah dakwah, dan tentang harapan-harapan.

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thaha: 44)

Setiap dakwah ada penantangnya. Maka Fir’aun pun jadi penantang nabi Musa as. Namun tugas da’i adalah menyampaikan. Itu saja. Urusan hidayah, itu milik Allah. Kepada Fir’aun saja yang kesombongannya mengangkasa, nabi Musa diperintahkan untuk berlembut-lembut. Kepada Fir’aun pun yang kecongkakannya melangit, Allah memberikan harapan kepada nabi Musa as. “mudah-mudahan ia ingat atau takut”

Maka tugas kita dalam meneruskan estafet dakwah ini harus memahami tabiatnya. Bahwa dakwah itu selalu ada tantangannya. Bahwa dakwah itu selalu ada musuhnya. Maka selamat datang wahai para aktivis dakwah. Selamat datang di jalan penuh penderitaan. Selamat menempuh jalan penuh tantangan.